Salah sambung itu disebabkan oleh suatu kesalahan dalam memencet nomor telpon. Rasa malu dalam salah sambung dapat dicegah dengan bertanya dulu sebelum bacot di telpon, misalnya nanya "Apakah benar ini nomer telpon Si A?" Daripada udah bacot terus ternyata salah sambung kan malu ya kan? Pokoknya aku udah beri tau, kalau masih salah sambung ya berarti salah sendiri.
Anyway, to the point aja ya. Aku mau share pengalaman di-salahsambung-in sama stranger waktu kelas 4SD. Cerita dimulai ketika aku bermain komputer (ga jaman leptop) sendirian di rumah lalu ada telpon, aku angkat dan ternyata salah sambung. Selang beberapa detik ada telpon lagi, salah sambung lagi. Ini maunya apa? Selamat udah berhasil ganggu. Terus aku duduk, kembali bermain, ternyata ada telpon lagi. Feelingku mengatakan kalo itu salah sambung, lebih baik dikacangin aja. Aku bodoh ga ngikutin feelingku soalnya itu beneran sal-sam. Okay, I have to stop this shit.
Sal-Sam : Halo Gus, jemputen aku nang blabla saiki (Halo Gus, jemput aku di blabla sekarang)
*Si Stranger menggunakan bahasa jawa, untungnya aku bisa*
Aku : Sek, sek wetengku lara (Sebentar perutku sakit)
Sal-Sam : Gak pokok e saiki! (Tidak, pokoknya sekarang)
Aku : Wetengku iki sik lara! (Perutku ini masih sakit!)
Sal-Sam : Pokoke jemputen (Pokoknya jemputen)
Aku : Yawes Entenana (Ya sudah, tunggu)
Stranger menutup telpon. Oke, masalah ini sudah terselesaikan. Yang penting main game jalan teruuuss. Memang, tidak ada telepon lagi. Tiba tiba, serangkaian pertanyaan muncul dalam benak saya. “Orang tadi gimana ya sekarang? Apa udah dijemput? Kalau belum gimana? Masa’ dia ntar nunggu jemputan fake? Sampai kapan dia nungguunya? Aduuuhh, betapa bodohnya saya. Menuruti godaan sesaat.” Ya, menyesal selalu datangnya akhir. Makanya, cegahlah agar menyesal tidak datang!
Pada saat itu, saya merasa seperti orang yang baru membunuh tukang gorengan hanya karena gorengannya kurang asin. Betapa teganya saya.
Beberapa hari kemudian saya baru mau bercerita pada kakak saya tentang masalah ini. Dia tertawa. Dia menganggap saya sebagai anak yang jahil, bukan ‘makhluk tak berperasaan’. Haha.
Maaf random. 100% kisah nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar